Bakpia, siapa lagi yang tidak kenal dengan jenis makanan khas Jogja satu ini. Ternyata Gunung Kidul juga memilki Bakpia sebagai salah satu makanan khas yang bisa didapat di sini. Bakpia juga sangat alami dan tradisional, karena terbuat dari kacang hijau dan tepung terigu saja. Meskipun hingga saat ini varian Bakpia menjadi lebih beragam dan kreatif. Sehingga Bakpia terus mengadakan perubahan dan pengembangan sesuai dengan kebutuhan konsumen. Untuk Gunung Kidul, jenis Bakpia yang mudah dicari adalah Bakpia Kacang Ijo yang memang sudah akrab di lidah siapapun. Mau wisata ke Jogja? Jangann lupa beli Bakpianya ya, karena bakpia pathuk dapat dijadikan oleh-oleh khas wonosari.
Itu tadi pembahasan mengenai makanan khas wonosari gunung kidul. Ada yang berupa camilan, makanan ringan, jajanan sampai kuliner khas gunung kidul yang masih alami. Dan mayoritas makanan tersebut diolah secara tradisional. Mengingat masyarakatnya yang mayoritas masih hidup tradisional. Bagi Anda orang kota, ayo jadikan cobain dong jajajan khas gunung kidul ini, agar menambah wawasan citarasa nusantra.
Bakpia Pathok merupakan oleh-oleh khas Gunungkidul yang terkenal. Bakpia ini berisi kacang hijau yang halus dan manis, dibungkus dengan kulit tipis yang lembut dan kenyal. Bakpia Pathok khas Gunungkidul memiliki rasa yang unik dan menjadi pilihan favorit sebagai oleh-oleh untuk keluarga dan teman.Deskripsi Singkat:
Bakpia telah mendapatkan tempat sebagai makanan khas Yogyakarta karena berbagai macam proses yang tertaut di dalamnya. Makanan ini merupakan perpaduan antara cita rasa Tionghoa dengan lokal, yang awalnya menggunakan minyak babi bermetaforsis menjadi kue bulat tanpa minyak babi dan bisa diterima oleh semua kalangan. Kehadirannya pertama kali di Yogyakarta karena usaha untuk memberi “warna” lain dari jenis makanan kecil yang waktu itu tidak banyak variasinya dan kebanyakan berupa makanan tradisional daerah atau roti yang diakulturasi dari Belanda. Perpanduan tersebut menciptakan ruang bahwa akulturasi dan toleransi antara orang Tionghoa dan Jawa tidak hanya terwujud dalam kehidupan sehari-hari tetapi juga dalam wujud makanan.
Resep bakpia awalnya dibawa oleh seorang Tionghoa yang berasal dari Wonogiri bernama Kwik Sun Kwok pada tahun 1940-an. Beliau menyewa tempat untuk usahanya milik Niti Gurnito di Kampung Suryowijayan, Mantrijeron Yogyakarta. Setelah Ksik Sun Kwok pindah kampong di sebelah Barat Kampung Suryowijayan, Niti Gurnito melanjutkan usaha pembuatan dan penjualan bakpia di lokasi lahannya. Dalam pengelolaan NIti Gurnito, usaha ini berkembang menjadi semakin besar dan menebus pasar hingga ke Prambanan, Sleman, dan Bantul. Produksi bakpia yang dikelola oleh Niti Gurnito saat itu lebih dikenal dengan sebutan bakpia Tamansari atau kemudian juga disebut sebagai Bakpia Niti Gurnito.
Selain Bakpia Tamansari, juga dikenal bakpia Patuk 75 milik Liem Bok Sing. Diceritakan pada saat itu, Liem Bok Sing adalah seorang perantauan dari negeri Tiongkok dan tinggal di daerah Dagen. Dia berjualan arang sebagai bahan bakar utama untuk memanggang bakpia. Bermula dari hubungan dagang ini , diperkirakan Kwik Sun Kwok memberikan informasi tentang proses pembuatan bakpia kepada Liem Bok Sing. Pada tahun 1948 , Liem Bok Sing merintis usaha pembuatan Bakpia dengan resep yang dikembangkan sendiri. Selanjutnya, pada tahun 1955keluarga Liem Bok Sing pindah rumah ke daerah Pathuk (Jl. Aipda KS Tubun No. 75) dan melanjutkan usaha pembuatan dan penjualan bakpia. Bakpia Pathuk sebagai nama bakpia yang dikelola oleh Liem Bok Sing mulai dikenal masyarakat Yogyakarta dan sekaligus membedakan Bakpia Tamansari yang dikelola oleh Niti Gurnito. Usaha pembuatan bakpia yang dikelola oleh Liem Bok Sing di Pathuk berkembang dengan pesatnya. Pathuk tumbuh sebagai industri bakpia. Beberapa warga pathuk juga ikut merintis usaha pembuatan bakpia. Dalam perkembangan selanjutnya, kampong Pathuk lebih dikenal sebagai wilayah usaha pembuatan bakpia dibandingkan Tamansari.
Bakpia tellah menjadi salah satu perpaduan kebudayaan yang relatif harmonis dan sekaligus memberikan contoh nyata tentang kebudayaan yang dinamis. Cita rasa Tionghoa telah terpadu secara harmonis dengan cita rasa lokal (Jawa) sebagai perwujudan konkrit toleransi dan akultusari antar budaya Tionghoa dan lokal (Yogyakarta). Sekat-sekat perbedaan semakin menjadi lentur karena proses “dialog” dengan lingkungan sekitar dan bahkan setelah beberapa dasawarsa kemudian sekat-sekat tersebut menjadi lebur.
Usaha untuk mempertautkan keberadaan bakpia dengan tradisi syukur yang pernah Berjaya pada masanya di kampung-kampung atau desa-desa di wilayah Yogyakarta merupakan usaha kreatif warga masyarakat dalam memberikan warna yang berbeda agar bakpia tidak hanya tertautkan dalam aspek ekonomi semata tetapi juga mengisyaratkan kandungan keharmonisan dan keseimbangan yang melekat dengan budaya Yogyakarta. Dengan demikian ketika disadari bahwa penjualan bakpia sangat tergantung dari sektor Pariwisata, maka usaha untuk mengupayakan kondisi harmonis dan jaminan rasa aman di wilayah Yogyakarta menjadi prasyarat utama dalam menunjang keberlanjutan sektor ini. Bakpia tidak sekedar dipahami sebagai salah satu jenis makanan khas Yogyakarta, tetapi banyak aspek kehidupan melekat di dalamnya.
0 komentar:
Posting Komentar